Selasa, 22 Maret 2016

Lucid Dream

Kemarin malam, saya mengalami lucid dream untuk pertama kalinya. Awalnya hanya mimpi biasa, hanya alur yang perlu kita ikuti, dan kita tidak tahu bahwa kita sedang bermimpi.

Kemudian datanglah bagian itu. Bagian ketika saya akhirnya bertanya apakah ini mimpi atau nyata, lalu saya menyadari itu adalah mimpi. Padahal saya baru berlatih selama dua hari. Kesadaran itu datang, bahwa saya sedang bermimpi. Namun, karena saya terlalu gembira, akhirnya saya masuk pada kondisi sleep paralysis. Sensasinya seperti disiram air, tapi rasanya menakutkan. Dan mimpi itu benar-benar berakhir.

Sayang sekali. Padahal malam itu, saya bermimpi bertemu orang yang benar-benar saya sayangi. Sebelum kesadaran bahwa saya sedang bermimpi itu datang, saya sudah mengobrol dengannya, bahkan dia tertawa mendengar hal lucu yang saya ucapkan. Sesuatu yang tak mungkin terjadi di dunia nyata. Melihat senyumnya yang menawan dengan begitu dekat.

Ketika mata saya terbuka di alam nyata, senyum itu sudah tidak ada di sana.

Rabu, 16 Maret 2016

Review 'Di Tanah Lada' oleh Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

 

[SPOILER ALERT]

Maaf Ziggy, saya cuma kasih bintang dua. :D

Yang paling mengganggu saya dalam membaca novel ini adalah karakternya dan dialog yang dilontarkan oleh tokoh-tokohnya. Tokoh Ava, misalnya. Ada bagian ketika Ava terdengar begitu bodoh di telinga pendengar namun ada bagian Ava terdengar begitu pintar. Saya jadi bingung sebenarnya ini orang besar atau anak-anak. Dan masalah ini sebenarnya bisa tidak terlalu buruk kalau POV-nya adalah orang ketiga serba tahu.

Menggunakan POV- orang pertama untuk karakter anak-anak menurut saya sangat rawan dengan logika cerita karena penulis akan terdorong menuliskan banyak hal padahal jangkauan berpikir anak-anak masih terbatas.

Kemudian, gaya bahasanya. Sangat kaku dan kurang sedap dinikmati. Sering ditemukan kalimat yang canggung.

Saya juga merasa ada yang aneh dengan persahabatan Ava dan Pepper. Seperti remaja yang sedang kasmaran saja. Terbukti dari bagaimana Ava lebih memilih kabur bersama Pepper yang baru dikenal beberapa hari dibanding tinggal bersama ibunya yang sudah sering melindungi Ava dari kekejaman papanya. Dan di ending pun Ava sampai rela bunuh diri bersama Pepper, WTF??!

Ekspektasi saya sebelum membaca novel ini cukup tinggi, melihat penghargaan yang disabet novel ini dalam sebuah perlombaan sastra. Setelah membaca novel ini , saya jadi pikir-pikir lagi sebenarnya sastra yang bagus itu bisa tidak ya ditentukan standarnya?

Sepertinya tidak, karena setiap orang punya selera masing-masing. Namun itu sekadar pemikiran skeptis saya saja.

Selasa, 15 Maret 2016

Run Away From Home

Pikiran ini sudah lama berputar-putar dalam kepalaku. Kupikir aku tak pernah merasa cukup dengan apa yang aku miliki. Sepertinya tidak. Aku memang benar-benar ingin memulai hidup atas kehendakku sendiri, tanpa  tekanan dari siapapun, termasuk orangtua dan keluargaku.

Aku memang terdengar egois. Meninggalkan mereka yang pasti akan sedih kehilanganku dan menjalani hidup baru yang jauh dari mereka. Tapi bukankah setiap orang berhak untuk bahagia? Kebahagiaan setiap orang berbeda-beda. Dan kebahagiaanku adalah ketika aku dapat hidup menjadi diriku sendiri apa adanya tanpa ada orang yang berusaha menekanku hingga remuk. Jika mereka tidak bisa menerimaku apa adanya, lalu kenapa aku harus melakukan hal yang sama pada diriku sendiri? Kalau iya kurasa itu adalah kejahatan terbesar yang bisa dilakukan seorang manusia.

Mungkin aku akan kabur ke tempat seperti kota-kota besar, dimana aku akan susah untuk ditemukan. Mungkin aku juga perlu mengganti namaku. Membuat KK palsu, KTP baru. Mengecat rambut. Identitas baru. Pekerjaan baru.

Aku belum yakin akan mampu hidup sendiri, tapi bagaimana aku bisa tahu kalau aku belum pernah mencoba? Orangtuaku punya tujuh anak. Kehilangan satu berarti masih enam. Kurasa itu bukan masalah yang terlalu besar. Aku akan meninggalkan surat untuk mereka supaya tidak terlalu panik. Astaga, pemikiran untuk kabur ini benar-benar membuatku merasa senang.

Aku akan mengambil uang arisanku yang 10 juta itu, membeli laptop dan membayar kos untuk setahun dan mulai menulis novel untuk mendapatkan uang. Sendiri di kamar. Sendiri di keramaian. Tanpa khawatir harus berurusan dengan orang lain. Aku mengenal diriku dengan baik, dan aku tidak pernah merasa nyaman bersosialisasi dengan orang lain. Itu salah satu alasanku ingin kabur. Agar tak memiliki kewajiban untuk terhubung dan berkomunikasi dengan orang lain.

Di kehidupan normal seperti ini, aku merasa dipaksa untuk menjalani hidup yang kubenci dari hari ke hari. Jujur aku merasa tertekan dengan semua itu. Kadang aku menangis saja sendirian di bawah selimut. Kesal, marah, sedih dan merasa sendiri karena kupikir tidak ada seorangpun yang sudi mengerti. Atau setidaknya berusaha.

Tapi di luar sana, di dunia yang luas, aku yakin seseorang pasti akan mengerti.