Kucing
itu datang lagi. Dia seperti biasa, duduk di balik jendela kamarku atau jendela
ruang baca. Menatapku dengan tenang,
namun tatapannya penuh waspada. Penuh curiga. Sudah berkali-kali aku berusaha
mengusirnya. Namun setiap kali dia pergi, keesokan harinya dia pasti datang
lagi. Bahkan pernah suatu malam, ketika mimpi buruk membangunkanku, kucing itu
tiba-tiba saja sudah ada di sana, di balik jendela. Aku berteriak kaget lalu
segera mengusirnya.
Entah
apa yang kucing itu lakukan di sana setiap hari. Seperti tidak ada kerjaan lain
saja. Sudah berbulan-bulan hal ini terjadi, dan semakin hari mimpiku semakin
buruk saja semenjak kehadiran kucing
hitam itu. Kini, mimpi buruk itu semakin sering terjadi sehingga dapat membangunkanku
di malam hari sampai berkali-kali. Setiap kali terbangun, aku dapat melihat
kucing itu. Mengawasiku dengan mata waspadanya.
Aku
berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Tiba-tiba saja lamunanku
terbuyarkan. Elsa masuk, dengan mata sayunya dan rambutnya yang berantakan,
efek obat-obatan. Tatapannya memang selalu kosong. Sudah lama aku tidak
berbicara kepada Elsa, begitu pula sebaliknya. Selama ini, kami selalu bertemu.
Kadang hanya saling tatap saja, tapi tak pernah saling berbicara. Jadi aku
tidak mau membicarakan soal kucing itu dengannya. Meski kucing itu seramnya
minta ampun, tapi biarlah ini menjadi rahasia kecilku saja.
Malam
itu aku kembali bermimpi. Api. Semua terbakar. Panas. Lalu hangus. Gambaran-gambaran
dan rasa itu berkelebat dalam mimpiku, berlari tak karuan mengacaukan pikiran
warasku. Ada badan yang hangus. Bau terbakar dan asap menyesakkan paru-paru.
Aku
terbangun dengan nafas terburu. Itu masa laluku. Tapi entah mengapa, rasanya
susah sekali mengingat apa yang sebenarnya terjadi kala itu.
Apa
sebenarnya yang terjadi di masa laluku? Sial! Terasa susah sekali untuk
diingat! Setiap kali aku berusaha mengingatnya, kepalaku selalu mendadak terasa
sangat sakit. Aku bangkit dari tempat tidur, menghidupkan lampu. Hal pertama
yang kulihat adalah jam dinding, yang sudah menunjukkan pukul tiga lewat lima
belas pagi hari.
Aku
menoleh ke jendela. Kucing itu ada di sana. Kini, ia tidak duduk tenang seperti
biasanya. Dia mengeong marah, keras, mendesis. Matanya memancarkan
keterancaman. Ia melompat, menyerangku dengan cakar dan taringnya. Aku
menghindar dan segera melempar kucing sialan itu, hingga ia membentur tembok.
Ia mengerang kesakitan, berdiri menghadapku dengan waspada, lalu mengerang
lagi.
Tiba-tiba
saja dia berbalik, lalu berlari. Melompat ke atas pintu dan memanjatnya, lalu
keluar melalui lubang fentilasi. Aku berusaha menyusulnya. Namun pintu
terkunci. Aku mendobrak pintu itu dengan kakiku sekeras yang kubisa, hingga
pintu itu terlepas dari engselnya. Entah kekuatan apa yang sedang merasukiku,
hingga bisa menjadi kuat sekali seperti ini.
Aku
segera berlari menyusul kucing itu, mengikutinya berbelok, hingga sampai di
sebuah tempat yang kukenali sebagai...
Dapur
rumah lamaku. Bagaimana mungkin? Aku terkejut bukan kepalang melihat pemandangan
di sekelilingku. Ingatan-ingatan yang kembali, menghujam kepalaku hingga nyaris
melumpuhkanku. Tempat ini sudah seharusnya menjadi abu! Sudah lama sekali
terbakar! Terbakar bersama seluruh keluargaku. Ayah, ibu, dan kedua saudara
perempuanku. Mereka semua tewas dalam kebakaran itu. Hanya aku yang selamat.
Kucing
hitam itu kini sedang berdiri mengawasi di atas sebuah meja. Dia masih
menggeram mengancam, bersiap menyerang. Aku panik. Kuambil pisau dari atas rak,
dan segera menyerang kucing hitam itu. Kucing itu menghindar sangat lincah.
Sial! Aku mencari-cari alat dapur yang bisa dijadikan sebagai senjata untuk
membunuh si kucing hitam. Aku sangat ingin membunuhnya!
Segala
alat dapur sudah kucuba, namun semuanya gagal membunuh kucing hitam sialan itu.
Habis sudah kesabaranku! Aku mencari sesuatu yang lain di bawah rak, dan
menemukan sebuah galon kecil yang terisi penuh dengan minyak tanah. Segera kubuka
tutupnya dan menyiramkannya secara membabi buta ke arah kucing hitam itu.
Kucing itu kembali menghindar, namun percikan-percikan minyak tanah akhirnya
mengenainya. Aku segera mencari korek api, dan segera menemukannya. Tanpa pikir
panjang, kunyalakan korek itu dan melemparkannya ke arah si kucing hitam.
Kucing
hitam itu terbakar. Dia berteriak-teriak kesakitan, kepanasan. Berlari
kesana-kemari. Aku tertawa menyaksikan semua kejadian itu. Kucing itu lama
kelamaan mulai lemas, lalu mati. Tawaku semakin keras. Tiba-tiba saja terdengar
suara ledakan. Api ternyata mengenai selang gas. Aku tertawa karena senang,
lalu segera berlari keluar, bersorak. Bergembira setelah berhasil menyingkirkan
kucing itu.
Namun
suara itu segera menghentikan tawaku. Suara yang kuingat. Suara
teriakan-teriakan kedua saudara perempuanku saat api merambati gaun tidur
mereka. Suara ayah yang berteriak putus asa, berusaha menyelamatkan mereka.
Suara ibu yang histeris. Aku segera kembali ke dapur, mencari sumber suara itu.
Tapi mereka tidak ada dimana-mana.
Lalu
terdengar teriakan lain. Kini lebih nyata. Orang-orang dengan baju serba putih
berdatangan. Salah satu dari mereka segera meringkusku. Aku berteriak meronta,
berusaha melepaskan diri.
“Keluargaku!
Keluargaku sedang berada dalam bahaya! Tolong mereka! Tolong mereka, sialan!”
Tapi
orang berbaju putih itu tidak mau mendengarkan. Dia malah menyeretku, dan kini seorang
lagi membantunya.
Dari
kejauhan, aku dapat melihat di antara api yang berkobar, kucing hitam itu
muncul. Muncul entah dari mana, dengan api masih berkobar di badannya. Matanya
menatap tajam ke arahku, bibirnya seolah mengukirkan senyuman penuh kemenangan.
Aku
berteriak histeris. “Kucing itu masih hidup! Kucing itu yang menyebabkan ini
semua! Kucing itu yang menyebabkan rumahku dulu terbakar! Kucing itu yang sudah
membunuh seluruh keluargaku! Kucing keparat! Bunuh kucing itu! Bunuh kucing
itu!”
Aku
terus meraung. Berteriak mengeluarkan seluruh kekuatan pada setiap gelombang
suaraku seolah esok hari aku tak memerlukannya lagi. Sesuatu yang tajam
tiba-tiba saja kurasakan tertancap dalam daging, dan sebelum jarum suntik itu
benar-benar meninggalkan bahuku, kantuk yang luar biasa menyerang. Perlahan-lahan,
aku kehilangan kesadaran.
Sebelum
kesadaranku benar-benar hilang, aku sempat mendengar dua dari orang-orang
berbaju putih itu berbicara. Suara mereka terdengar kabur dan tersamarkan,
seperti alien.
“Untung
saja langsung ketahuan ada kebakaran di dapur, kalau tidak seluruh rumah sakit
ini bisa hangus dengan api.”
“Ini
pasien yang dulu pernah membakar rumahnya, bukan?”
“Bukan
cuma membakar rumah. Akibat perbuatannya, seluruh anggota keluarganya mati!”
“Dia
kumat lagi.”
“Iya,
dia mulai lagi melihat kucing hitam itu.”
“Sepertinya
dia harus masuk ruang isolasi lagi.”
Dan
aku pun jatuh tak sadarkan diri.
ooOoo
Sudah
sebulan sejak kejadian itu. Dan hari ini aku dilepas dari ruang isolasi,
kembali ke kamar pasien yang lama. Semua orang berbaju putih itu kini semakin
waspada jika sedang ada di sampingku. Kurasa ketakutan mereka tidak beralasan.
Aku
memasuki ruang baca untuk pertama kalinya semenjak kejadian itu. Tempat dimana
aku sering melihat kucing hitam itu di jendela, selain di jendela kamarku
sendiri. Namun kini aku sudah tidak percaya lagi dengan kucing itu, karena
seorang dokter mengatakan bahwa kucing itu tidak nyata.
Seperti
biasa, ruangan itu sepi. Hanya ada Elsa dengan rambut kusut dan mata sayunya
yang selalu menatap kosong. Namun, pagi itu berbeda. Mata Elsa sedang terfokus
pada sesuatu. Aku berusaha memastikannya, dan memang benar ternyata dia sedang
memperhatikan sesuatu. Tatapannya mengarah pada jendela.
Aku
menoleh ke arah jendela.
ooOoo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar